Mungkin kamu pernah mendengar atau malah sudah pernah berkunjung di suatu tempat atau yang disebut Trowulan di Mojokerto. Kompleks Trowulan inilah yang diperkirakan dulu menjadi pusat pemerintahan Majapahit. Beberapa situs yang dapat kita temukan sekarang misalnya ada pendhopo, segaran, Candi Bajang Ratu dan sebagainya. Kamu bayangkan Majapahit tempo dulu merupakan kerajaan yang luas dan sudah menjalin kerja sama dengan kerajaan- kerajaan di luar Kepulauan Indonesia. Bahkan Mohammad Yamin menyebut Kerajaan Majapahit itu sebagai Kerajaan Nasional kedua. Bayangkan pula tokoh besar seperti Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan Nusantara. Bahkan hingga saat ini kebesaran Patih Gajah Mada masih melekat dalam ingatan kita, hingga makam Patih Gajah Mada oleh masyakarat Lombok Timur dipercaya berada di kompleks pemakaman Raja Selaparang. Cerita kebesaran Patih Gajah Mada juga terdapat di daerah lain. Nah, itulah salah satu kisah kecil Kerajaan Majapahit, Satu di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Berikut ini kita akan mempelajari perkembangan beberapa kerajaan Hindu- Buddha.
1. Kerajaan
Kutai
Bicara soal
perkembangan Kerajaan Kutai, tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman. Kamu perlu
memahami keberadaan Kerajaan Kutai, karena Kerajaan Kutai ini dipandang sebagai
kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia. Kerajaan Kutai diperkirakan
terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai
Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai.
Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya
diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari
dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan. Inilah
posisi yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Sungguh Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta dan tanah air Indonesia
itu begitu kaya dan strategis. Hal ini perlu kita syukuri.
Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan sumber sejarah yang dapat menjelaskannya. Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan raja Mulawarman. Prasasti yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.
Yang
menarik dalam prasasti itu juga disebut nama kakek Mulawarman yang bernama
Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal, dan yang setelah terkena pengaruh
Hindu-Buddha daerah tersebut berubah menjadi kerajaan. Namanya tetap Kudungga
berbeda dengan nama putranya yang bernama Aswawarman dan
cucunya yang bernama
Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal sebagai wamsakerta adalah
Aswawarman. Coba pelajaran apa yang dapat kita peroleh dengan persoalan nama di
dalam satu keluarga Kudungga itu?
Satu di antara yupa itu
memberi informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa
Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman dikatakan seperti
Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang
terkenal adalah Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang
terbesar di Kutai. Ia pemeluk agama Hindu-Siwa yang setia. Tempat sucinya
dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja
yang sangat dekat dengan
kaum brahmana dan rakyat. Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia mengadakan kurban
emas dan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana. Oleh karena itu, sebagai rasa
terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana mendirikan
sebuah yupa.
Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan.
Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai,
sehingga masyarakatnya melakukan pertanian. Selain itu, mereka banyak yang
melakukan perdagangan. Bahkan diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan
luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus
ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang
itu singgah terlebih dahulu di Kutai. Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan
rakyat hidup makmur.
2. Kerajaan
Tarumanegara
Sejarah tertua
yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan adalah pada masa
Kerajaan Tarumanegara. Untuk mengendalikan banjir dan pertanian yang diduga di
wilayah Jakarta saat ini, maka Raja Purnawarman menggali sungai Candrabaga.
Setelah selesai melakukan penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000
ekor lembu pada brahmana. Berkat sungai itulah penduduk Tarumanegara menjadi
makmur. Siapakah Raja Purnawarman itu?
Purnawarman
adalah raja terkenal dari Tarumanegara. Perlu kamu pahami bahwa setelah
Kerajaan Kutai berkembang di Kalimantan Timur, di Jawa bagian barat muncul
Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa
bagian Barat. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan letak pusat Kerajaan
Tarumanegara diperkirakan di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Kalau
mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan dengan
kata tarum yang artinya nila. Kata tarum dipakai sebagai nama
sebuah sungai di Jawa Barat, yakni Sungai Citarum. Mungkin juga letak
Tarumanegara dekat dengan aliran Sungai Citarum. Kemudian berdasarkan Prasasti
Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusatnya ada di daerah Bekasi.
Sumber
sejarah Tarumanegara yang utama adalah beberapa prasasti yang telah ditemukan.
Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah
prasasti. Prasasti-prasasti itu berhuruf pallawa dan berbahasa sansekerta.
Ketujuh prasasti itu adalah:
1. Prasasti
Ciareteun
Prasasti
ini ditemukan di tepi Sungai Citarum di dekat muaranya yang mengalir ke Sungai
Cisadane, di daerah Bogor. Pada prasasti ini dipahatkan sepasang telapak kaki
Raja Purnawarman.
2. Prasati
Kebon Kopi
Prasasti
Kebon Kopi ditemukan di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Pada prasasti ini ada pahatan gambar tapak kaki gajah yang disamakan dengan
tapak kaki gajah Airawata (gajah kendaraan Dewa Wisnu).
3. Prasasti
Jambu
Prasasti ini
ditemukan di perkebunan Jambu, Bukit Koleangkok, kira-kira 30 km sebelah barat
Bogor. Dalam prasasti itu diterangkan bahwa Raja Purnawarman itu gagah,
pemimpin yang termasyhur, dan baju zirahnya tidak dapat ditembus senjata musuh.
4. Prasasti
Tugu
Prasasti Tugu
ditemukan di Desa Tugu, Cilincing Jakarta. Prasasti ini menerangkan tentang
penggalian saluran Gomati dan Sungai Candrabhaga. Mengenai nama Candrabhaga,
Purbacaraka mengartikan candra = bulan
= sasi.
Candrabhaga menjadi sasibhaga dan kemudian menjadi Bhagasasi - bagasi, akhirnya
menjadi Bekasi.
5. Prasasti
Pasir Awi
Prasasti
Pasir Awi ditemukan di daerah Bogor.
6. Prasasti
Muara Cianten
Prasasti
Muara Cianten ditemukan di daerah Bogor.
7. Prasasti
Lebak
Prasasti
Lebak ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Muncul, Banten Selatan.
Prasasti ini menerangkan tentang keperwiraan, keagungan, dan keberanian
Purnawarman sebagai raja dunia.
Di
samping beberapa prasasti tersebut, berita Cina juga dapat dijadikan sumber
sejarah Kerajaan Tarumanegara. Terutama berita yang disampaikan oleh seorang
musafir Cina yang bernama Fa-Hien yang berkunjung ke Jawa. Ia telah menyebut
adanya Kerajaan To-lo- mo atau Taruma.
Pemerintahan
dan Kehidupan Masyarakat
Kerajaan
Tarumanegara mulai berkembang pada abad ke-5 M. Raja yang sangat terkenal
adalah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia
juga dekat dengan para brahmana, pangeran, dan rakyat. Ia raja yang jujur,
adil, dan arif di dalam memerintah. Daerahnya cukup luas sampai ke daerah
Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan kerajaan lain,
misalnya dengan Cina.
Dalam kehidupan
agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikit yang
beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang
(animisme). Berdasarkan berita dan Fa-Hien, di To- lo-mo ada tiga agama, yakni
agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu.
Sebagai bukti, pada prasasti Ciareteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan
tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti
T’ang terjadi hubungan perdagangan dengan Jawa. Barang-barang yang
diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.
Penduduk daerah itu pandai membuat minuman keras yang terbuat dari bunga
kelapa.
Rakyat
Tarumanegara hidup aman dan tenteram. Pertanian merupakan mata pencaharian
pokok. Di samping itu, perdagangan juga berkembang. Kerajaan Tarumanegara
mengadakan hubungan dagang dengan Cina dan India.
3. Kerajaan
Kalingga
Ratu Sima
adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin
wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu.
Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah.
Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan.
Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po-li (Bali sekarang), di
sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah
utara Kalingga terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan
samudra. Oleh karena itu, Kalingga diperkirakan terletak di Jawa Tengah, di
Kecamatan Keling, sebelah utara Gunung Muria.
Sumber utama
mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti
T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui
berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan
Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira
abad ke-7 - ke-9 M.
Pemerintahan
dan Kehidupan Masyarakat
Raja
yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita
yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai
raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas
dan seadil-adilnya. Rakyat patuh terhadap semua peraturan yang berlaku. Untuk
mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya, dengan meletakkan
pundi- pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang
mengusik pundi-pundi itu. Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga
istana yang sedang jalan- jalan, menyentuh kantong pundi-pundi dengan kakinya
Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai salah dan
harus diberi hukuman mati. Akan tetapi atas usul persidangan para menteri,
hukuman itu diperingan dengan
hukuman potong kaki. Kisah
ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu Sima. Ia tidak membedakan antara
rakyat dan anggota kerabatnya sendiri.
Agama utama yang dianut
oleh penduduk Kalingga pada umumnya Buddha. Agama Buddha berkembang pesat.
Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kaling dan tinggal selama
tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha
Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning
dibantu oleh seorang pendeta bernama Jnanabadra.
Kepemimpinan raja yang
adil, menjadikan rakyat hidup teratur, aman,dan tenteram. Mata pencaharian
penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk
pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.
Kerajaan Kalingga
mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai
perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke
Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755
M.
4.
Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tarikh Masehi,
hubungan dagang antara, India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah
pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para
pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi
pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur sekitar
abad ke-7, antara lain Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga
kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai kejayaannya adalah
Sriwijaya. Kerajaan Melayu juga sempat berkembang, dengan pusatnya di Jambi.
Pada tahun
692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat
ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Letak pusat Kerajaan
Sriwijaya ada berbagai pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan
Sriwijaya ada di Palembang, ada yang berpendapat di Jambi, bahkan ada yang
berpendapat di luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang banyak didukung oleh
para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di Palembang, di dekat pantai dan di
tepi Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai
menunjukkan kemunduran, Sriwijaya berpindah ke Jambi.
Sumber sejarah Kerajaan
Sriwijaya yang penting adalah prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan
huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu
antara lain sebagai berikut.
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit
ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka tahun
605 Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta
Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan
perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo
ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini
berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya menyebutkan tentang pembangunan sebuah
taman yang disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti
Telaga Batu ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya
terutama tentang kutukan- kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat
kejahatan.
4. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur
ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M). Isinya terutama
permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya, dan menghukum
setiap orang yang bermaksud jahat.
5. Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi
ditemukan di Jambi, berangka tahun 608 saka (686 M). Isinya sama dengan isi
Prasasti Kota Kapur.Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor berangka
tahun 775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda di
India Timur. Di samping prasasti-prasasti tersebut, berita Cina juga merupakan
sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya berita dari I-tsing, yang
pernah tinggal di Sriwijaya.
Perkembangan Kerajaan
Sriwijaya
Ada beberapa faktor yang
mendorong perkembangan Sriwijaya antara lain:
a. Letak geografis dari
Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi Sungai
Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai
pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi. Keadaan seperti ini sangat tepat
untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan. Kondisi itu pula menjadikan
Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina, atau
sebaliknya. Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan laut yang cukup
tenang, serta penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.
b. Runtuhnya Kerajaan
Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini telah memberi kesempatan
Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.
Perkembangan
Politik dan Pemerintahan
Kerajaan
Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7. Pada awal perkembangannya, rajanya
disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah
ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak melakukan
usaha perluasan daerah.
Daerah-daerah
yang berhasil dikuasai antara lain sebagai berikut.
a.
Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.
b. Daerah
Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat
panting artinya bagi usaha pengembangan perdagangan dengan India. Menurut
I-tsing, penaklukan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara tahun 682-685 M.
c. Pulau
Bangkayangterletakdipertemuanjalanperdagangan internasional, merupakan daerah
yang sangat penting. Daerah ini dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun 686 M
berdasarkan Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya juga diceritakan berusaha
menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia kepada Sriwijaya. Bhumi Java yang
dimaksud adalah Jawa, khususnya Jawa bagian barat.
d. Daerah
Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki kedudukan yang
penting, terutama untuk memperlancar perdagangan di pantai timur Sumatra.
Penaklukan ini dilaksanakan kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
e. Tanah
Genting Kra merupakan tanah genting bagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan
Tanah Genting Kra sangat penting. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di
tanah genting sangat dekat, sehingga para pedagang dari Cina berlabuh dahulu di
pantai timur dan membongkar barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke
pantai barat. Kemudian mereka berlayar
ke India. Penguasaan
Sriwijaya atas Tanah Genting Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang
berangka tahun 775 M.
f. Kerajaan Kaling dan
Mataram Kuno. Menurut berita Cina, diterangkan adanya serangan dari barat,
sehingga mendesak Kerajaan Kaling pindah ke sebelah timur. Diduga yang
melakukan serangan adalah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa bagian
tengah karena pantai utara Jawa bagian tengah juga merupakan jalur perdagangan
yang penting.
Sriwijaya terus melakukan
perluasan daerah, sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk lebih
memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M dibangunlah sebuah pangkalan di
daerah Ligor. Waktu itu yang menjadi raja adalah Darmasetra.
Raja yang
terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar
abad ke-9 M. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai
zaman keemasan. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni
putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut
diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Balaputradewa adalah seorang raja yang
besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan
Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja ini
menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama
bagi para pelajar dan mahapeserta didik yang sedang belajar di Nalanda, yang
dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”. Hal itu tercatat dengan baik
dalam Prasasti Nalanda, yang saat ini berada di Universitas Nawa Nalanda,
India. Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan Candi Muara
Jambi, yang berada di Provinsi Jambi saat ini. Hal tersebut menandakan
Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha dan
bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya.
Pada tahun 990 M yang menjadi Raja Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa.
Pada masa pemerintahan raja itu terjadi serangan Raja Darmawangsa dari Jawa
bagian Timur. Akan tetapi, serangan itu berhasil digagalkan oleh tentara
Sriwijaya. Sri Sudamaniwarmadewa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Marawijayottunggawarman. Pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman,
Sriwijaya membina hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala. Pada masa
itu, Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya.
Untuk
mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang Rakryan
(wakil raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur
pemerintahan.
Perkembangan
Ekonomi
Pada
mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi karena Sriwijaya
terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat
berkembang. Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan
perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya
terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional. Para pedagang Cina
yang akan ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang dan
India yang akan ke Cina. Di Sriwijaya para pedagang melakukan bongkar muat
barang dagangan. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang
menjadi pusat perdagangan. Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional
maupun internasional di kawasan perairan Asia Tenggara. Perairan di Laut
Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya.
Tampilnya Sriwijaya
sebagai pusat perdagangan, memberikan kemakmuran bagi rakyat dan negara
Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat, harus membayar
pajak. Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan
beberapa jenis binatang liar, sedangkan barang impornya antara lain beras,
rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai
kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan
perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut. Untuk
memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat.
Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu mengawasi perairan di
Nusantara. Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang
ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.
Dalam
kaitannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha, di Sriwijaya
ditemukan beberapa peninggalan. Misalnya, Candi Muara Takus, yang ditemukan dekat
Sungai Kampar di daerah Riau. Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan arca
Buddha. Pada tahun 1006 Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat
suci agama Buddha di Nagipattana, India Selatan. Hubungan Sriwijaya dengan
India Selatan waktu itu sangat erat.
Bangunan
lain yang sangat penting adalah Biaro Bahal yang ada di Padang Lawas, Tapanuli
Selatan. Di tempat ini pula terdapat bangunan wihara.
Kerajaan
Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa hal antara lain :
a.
Keadaan sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini
disebabkan aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak membawa lumpur.
Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
b.
Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan
terutama karena melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan semakin
sulit.
c. Dari segi
politik, beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain.
Tahun 1017 M Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari
Colamandala, namun Sriwijaya masih dapat bertahan. Tahun 1025 serangan itu
diulangi, sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan
oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melakukan
Ekspedisi Pamalayu. Halitumenyebabkan daerah Melayu lepas. Tahun 1377 armada
angkatan laut
Majapahit menyerang
Sriwijaya Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.
5. Kerajaan
Mataram Kuno
Pada
pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru.
Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan
pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang
menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu
letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu
dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungai- sungai. Di
sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah
barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta
di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu.
Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan
Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.
Untuk
mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber yang
berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram
Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti
Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber
sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.
Perkembangan
Pemerintahan
Sebelum
Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama
Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa
Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha,
saudara perempuan dari Sanna.
Dalam
Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut
nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta
Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang
berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan
yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil memerintah
Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna.
Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan
Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya
mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga
dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan
lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap
arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan
rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja
Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata
pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga
dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci
dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai
lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui
kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya
wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran
mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang
berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan
memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk
para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.
Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama
Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran
kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal
sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh- musuh kerajaan. Daerahnya
bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama
Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya
bangunan-bangunan suci. Misalnya, candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah
kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra,
karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama
Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini
menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan
dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di
daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang
beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra
yang beragama Hindu meninggalkan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian utara.
Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (candi Dieng) dan kompleks
Candi Gedongsongo. Kompleks candi Dieng memakai nama-nama tokoh wayang seperti
Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang beragama
Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan
Borobudur. candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada
tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan
Pikatan
Perpecahan di dalam
keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu
kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang
beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu
terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di
bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Setelah Samaratungga
wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa menunjukkan sikap
menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara
Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng
pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang
kira kenal dengan candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan
melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan
Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno
daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai
Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja
yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja
Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan
Balitung bidang- bidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan
mengalami kemajuan. Ia telah membangun candi Prambanan sebagai candi yang
anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah Balitung Kerajaan
Mataram mulai mundur. Raja yang berkuasa setelah Balitung adalah Daksa,
Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Mataram Kuno
antara lain adanya bencana alam dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan
Sriwijaya.
Kekuasaan
Dinasti Isyana
Pertentangan
di antara keluarga Mataram, tampaknyaterus berlangsung hingga masa pemerintahan
Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti itu
menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa
Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Disamping karena
pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan
mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, pusat
pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan
dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa
Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah,
dan Bali.
Setelah Mpu
Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri
Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari
perkawinan ini lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana.
Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan
dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu
aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk
menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh
turun takhta ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu usianya masih
16 tahun. Hancurnya kerajaan
Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup
bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh
pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada
masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk
Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada. Setelah dinobatkan sebagai
raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya,
bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan.
Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang
pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga
kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Airlangga memerintahkan
Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri dan
Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara
kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur
diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan
ibukota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya
sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah
barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa)
dengan ibukota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.
Kerajaan Kediri adalah
kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan negara
berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling
bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat
lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa.
Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.
Post a Comment
Post a Comment