Sebelum Mengenal Tulisan
Sebelum mengenali tahapan-tahapan atau pembabakan perkembangan kehidupan dan kebudayaan zaman praaksara, perlu kamu ketahui lebih dalam apa yang dimaksud zaman praaksara. Praaksara adalah istilah baru untuk menggantikan istilah prasejarah. Penggunaan istilah prasejarah untuk menggambarkan perkembangankehidupandanbudayamanusiasaatbelummengenal tulisan adalah kurang tepat. Pra berarti sebelum dan sejarah adalah sejarah sehingga prasejarah berarti sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah berarti sebelum ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli memopulerkan istilah praaksara untuk menggantikan istilah prasejarah.
Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman praaksara adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah praaksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Kapan waktu dimulainya zaman praaksara? Kapan zaman praaksara itu berakhir? Zaman praaksara dimulai sudah tentu sejak manusia ada, itulah titikdimulainya masa praaksara. Zaman praaksara berakhir setelah manusianya mulai mengenal tulisan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah kapan tepatnya manusia itu mulai ada di bumi ini sebagai pertanda dimulainya zaman praaksara. Sampai sekarang para ahli belum dapat secara pasti menunjuk waktu kapan mulai ada manusia di muka bumi ini. Tetapi yang jelas untuk menjawab pertanyaan itu kamu perlu memahami kronologi perjalanan kehidupan di permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita huni sekarang diperkirakan mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.
Bagaimana
kalau kita ingin melakukan kajian tentang kehidupan zaman praaksara? Untuk
menyelidiki zaman praaksara, para sejarawan harus menggunakan metode penelitian
ilmu arkeologi dan sedikit banyak juga pada ilmu alam seperti geologi dan
biologi. Ilmu arkeologi adalah bidang ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau jejak
tinggalan fisik, seperti lempeng artefak, monumen, candi dan sebagainya.
Berikutnya menggunakan ilmu geologi dan percabangannya, terutama yang berkenaan
dengan pengkajian usia lapisan bumi dan biologi berkenaan dengan kajian tentang
ragam hayati (biodiversitas) makhluk hidup.
Arti
penting dari pembelajaran tentang sejarah kehidupan zaman praaksara
pertama-tama adalah kesadaran akan asal usul manusia. Tumbuhan memiliki akar.
Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin dalam pula akarnya menghunjam ke bumi
hingga tidak mudah tumbang dari terpaan angin badai atau bencana alam lainnya.
Demikian pula halnya dengan manusia. Semakin berbudaya
seseorangataukelompokmasyarakat, semakindalampulakesadaran kolektifnya tentang
asal usul dan penghargaan terhadap tradisi. Jika tidak demikian, manusia yang
melupakan budaya bangsanya akan mudah terombang ambing oleh terpaan budaya
asing yang lebih kuat, sehingga dengan sendirinya kehilangan identitas diri.
Jadi
bangsa yang gampang meninggalkan tradisi nenek moyangnya akan mudah didikte
oleh budaya dominan dari luar yang bukan miliknya. Kita bisa belajar banyak
dari keberhasilan dan capaian prestasi terbaik dari pendahulu kita. Sebaliknya
kita juga belajar dari kegagalan mereka yang telah menimbulkan malapetaka bagi
dirinya atau bagi banyak orang. Untuk memetik pelajaran dari uraian ini, dapat
kita katakan bahwa nilai terpenting dalam pembelajaran sejarah tentang zaman
praaksara, dan sesudahnya ada dua yaitu sebagai inspirasi untuk pengembangan
nalar kehidupan dan sebagai peringatan. Selebihnya kecerdasan dan
pikiran-pikiran kritislah yang akan menerangi kehidupan masa kini dan masa
depan.
Pernahkahkamumendengar
tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah
ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat
membanggakanbangsaIndonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari berbagai
pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut
tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan
manusia dari masa lalu. Sangiran telah menjadi sentra kehidupan manusia purba.
Berbagai penelitian dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Sumber :
Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia Masa Islam,
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Beberapa temuan fosil di
Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di
luar Sangiran.
Dari
Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah
ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan
sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat
wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di
sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.
Peninggalan
manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau
Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum
berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil
ditemukan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan
penting fosil manusia di beberapa tempat.
1.
Sangiran
Perjalanan
kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan
bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan
Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam
buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan
bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala
Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di
Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang
memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu.
Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan
tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa
yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian
puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang.
Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan
batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk
artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam
dan pasir fluvio- volkanik
Sangiran
pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan
penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak
dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama.
Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik
dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, G.H.R von Koenigswald
menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di
barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan
penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran
menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus
secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting
dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia
modern.
Situs
Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja,
akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang,
dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri
geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta
tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah
satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai
Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia
(World Heritage List) UNESCO.
2.
Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Trinil
adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di
daerah ini jauh sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi
yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa
manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois
dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap
tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan
fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak
Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke
belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak
manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian
belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang
belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing
yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan
perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia
dewasa. Selain tempat- tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga
ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah;
Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Berdasarkan
beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi
beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman praaksara.
1.
Jenis Meganthropus
Jenis
manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran
tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar.
Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini
dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa.
Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap.
Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh- tumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2.
Jenis Pithecanthropus
Jenis
manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat
Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah
direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih
terlihat
tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus,
artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di
Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia purba
yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di
Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar
zaman Pleistosen Tengah.
3.
Jenis Homo
Fosil
jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian
dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai
jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya
menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis
Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang.
Hidup
dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu.
Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di
Filipina dan Cina Selatan.
Homo
sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun
postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern.
Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah
lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka
muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai
penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan
perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus.
Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah
satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus
Hal
ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding
sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks
Homo sapiens menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern
dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling
signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas
otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang
jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang
mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi
morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat
nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya
tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan
lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan
bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan
Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir
zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan
manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal
sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul
penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa
Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam
ras Mongolid. Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa
Indonesia sekarang.
Beberapa
spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai
berikut,
a.
Manusia Wajak
Manusia
Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu- satunya temuan di Indonesia yang untuk
sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari
akhir Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van
Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut
Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur.
b.
Manusia Liang Bua
Pengumuman
tentang penemuan manusia Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim
peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di
Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang
dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang
datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa praaksara.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang
berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua
merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di
Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di
Kepulauan Indonesia.
Manusia
Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September
2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian
diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil manusia
Liang Bua.
Pada
tahun 1950-an, Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang
manusia di Liang Bua. Saat itu ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan
berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka
manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan
barang-barang gerabah.
Diperkirakan
Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua
mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan
volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada
di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Perkembangan
Teknologi
manusia
purba sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula
dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi
serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan
dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka hanya
menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman
ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para
ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi
beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini
dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum.
1. Antara
Batu dan Tulang
Peralatan
pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang
seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum
atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman neozoikum
terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman Kuarter.
Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan
zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni
munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil
kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan
zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan
Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a.
Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang
di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini.
Seorang ahli, von Koenigswald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah
menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di daerah
Punung. Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung
kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak
perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat
mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat
batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga
ditemukan alat-alat serpih.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga
Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan
juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang
binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau
belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di
Sangiran juga ditemukan dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu
tengah yang dikenal zaman mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini
sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman paleolitikum.
Sekalipun demikian bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman paleolitikum (batu
tua) tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk
flake dan
alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar
kebudayaan mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang
ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.
a. Kebudayaan
Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah
dari bahasa Denmark, kjokken berartidapurdan modding dapat
diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya
dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit
siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara
Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat memberi
informasi bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat
tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper)
yang berbeda dari chopper yang ada di zaman paleolitikum. Kapak
genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble
atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini
terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi
bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble
juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipihan (batu-batu alat
penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan
jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous
Roche
Kebudayaan abris sous
roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini
mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di
gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein
Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan
tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang
ditemukan misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga
ditemukan alat- alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous
roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah
Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
3. Sebuah
Revolusi
Perkembangan
zaman batu yang dapat dikatakan paling penting dalam kehidupan manusia adalah
zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga
dapat dikatakan sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi
kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food
gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring
dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayaannya . Pada zaman ini
telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu
baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk
menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup bermasyarakat dengan
bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum
ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.
a. Kebudayaan
kapak persegi
Nama
kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini
dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi
panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga
bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau
pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis
seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah
atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini
terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali.
Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat
(Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian
Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa
Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini cocok
sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan kapak
lonjong
Nama kapak lonjong ini
disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk
keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan
tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang
ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian
timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.
Pada zaman neolitikum, di
samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang perhiasan,
seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.
Perlu kamu ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah memiliki
pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan. Penemuan dari berbagai
situs menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan adalah jenis batuan
kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan, tufa kersikan,
kalsedon,
dan jasper. Jenis-jenis
batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung
tajam dan tipis, sehingga memudahkan pengerjaan. Di beberapa situs yang
mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan
(Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan.
Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk
memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya
kurang baik. Contoh semacam ini dapat diamati pada situs Kedunggamping di
sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang
pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.
c. Perkembangan zaman
logam
Mengakhiri zaman batu di
masa neolitikum mulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman
logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila dibandingkan dengan yang ada
di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu
dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman
perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh
benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko,
berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik
keagamaan misalnya nekara.
Pola Hunian
Dalam buku Indonesia Dalam Arus
Sejarah, Jilid I diterangkan tentang pola hunian manusia purba yang
memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan
sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat dilihat
dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh
yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang
aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong)
merupakan contoh- contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan
di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air
memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air
juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu
lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya.
Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman.
Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Petunjuk yang dapat
memberikan gambaran jelas pada kita tentang kehidupan manusia purba adalah
sebaran sisa-sisa peralatan yang digunakan pada saat itu, yang umumnya berada
di dasar atau di sekitar sungai. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan
pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba mempunyai kecenderungan
untuk menghuni lingkungan terbuka di sekitar aliran sungai. Manusia purba juga
memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di
gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkinkan untuk menghuni
gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan sumber bahan
makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat persinggahan sementara,
sehingga tidak meninggalkan jejak pada kita. Kemungkinan lain bahwa gua-gua di
kala itu belum atau baru sebagian terbentuk dan gua- gua yang sudah terbentuk tidak dalam lingkungan
yang menyediakan berbagai sumber daya yang diperlukan manusia. Yang menarik di
alam terbuka itu ada juga manusia purba yang yang tinggal sekitar pantai.
Ciri
berikutnya ialah transisi permukiman nenek moyang dari nomaden ke tempat
tinggal menetap. Manusia purba di
Indonesia diperkirakan sudah hidup menjelajah (nomaden) untuk jangka
waktu yang lama. Mereka mengumpulkan bahan makanan dalam lingkup wilayah
tertentu dan berpindah-pindah. Mereka hidup dalam komunitas-komunitas kecil
dengan mobilitas yang tinggi. Keterisolasian dalam hutan tropis dan ketiadaan
kontak dengan dunia luar menutup kemungkinan untuk mengadopsi budaya luar. Lama
hunian di suatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan bahan
makanan. Manakala lingkungan sekitar sudah tidak menjanjikan bahan makanan,
mereka berpindah ke lingkungan baru di tepian sungai untuk membuat persinggahan baru.
Mulailah berkembang pola hunian bertempat tinggal sementara, misalnya di
gua-gua. Inilah masa transisi sebelum manusia itu bertempat tinggal tetap.
Mengenal Api
Bagi manusia
purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting.
Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun
yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Di samping untuk
menghangatkan diri dari cuaca dingin, dengan api kehidupan menjadi lebih
bervariasi dan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan
manusia untuk berbagai hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan
manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan
menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai
senjata. Api pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang
menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran
pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan
cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and
burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang.
Pada awalnya
pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus
yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya
batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan
api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau
material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat
dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara
berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika
digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu
kemudian menimbulkan api.
Dari
Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Mencermati hasil
penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan
manusia zaman praaksaraa mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup
mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka
menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari
bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang
masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada manusia Meganthropus dan
Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya
lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah
pantai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar. Mereka juga membuat
atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan.
Masa manusia purba berburu
dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya
mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis
tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada
sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua,
atau di tepi pantai. Coba kamu ingat dalam pembahasan sebelumnya, terdapat
kebudayaan kjokkenmoddinger dan abris sous roche dan manusia
purba mulai mengenal api.
Peralihan
Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food
gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai
pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan tetapi mencoba
memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika
mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka
melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air
hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk melakukan
bercocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama
kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah mencari tempat
yang dapat ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk
membuka lahan bercocok tanam. Namun waktu itu juga sudah ada pembukaan lahan
dengan cara membakar hutan. Bagaimana pendapat kamu tentang hal ini dan
kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh manusia
modern sekarang ini?
Kegiatan
manusia bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah
jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang
lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka
terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni
sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun
bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga kegiatan
beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orang-orang dari
Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan
pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan
perdagangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga
semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.
Sistem
Kepercayaan
Sebagai manusia yang
beragama tentu kamu sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama.
Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup adalah hanya
sebentar sehingga tidak boleh berbuat menentang ajaran agama, misalnya tidak
boleh menyakiti orang lain, tidak boleh rakus, bahkan melakukan tindak korupsi
yang merugikan negara dan orang lain. Karena itu dalam hidup ini manusia harus
bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling tolongmenolong. Kita semua
mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa karena melanggar perintah
agama, atau menyakiti orang lain.
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan
kehidupan setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha kuat di
luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut
ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan manusia zaman praaksara,
yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam
berbagai bentuk di antaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai
bekal untuk orang yang meninggal. Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang
digunakan sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, maka pada zaman
purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal
sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat
berbagai bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya cukup
bagus pada masa sekarang. Untuk itulah kita
mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda- benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.
Seiring dengan
perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara akhir juga mulai mengenal
sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan
di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin
berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu.
Post a Comment
Post a Comment